Entah kenapa aku selalu tidak suka
dengan orang yang menyepelekan waktu, bagiku waktu itu sangat penting. Dan benar
ternyata seperti kata orang “waktu itu mahal, dan nggak bisa dibeli”.
Mungkin setiap orang di indonesia
juga sama denganku, tidak suka dengan orang yang telat/menyepelekan waktu. Apalagi
telat haid, wah bahaya. Namun, dibalik ketidaksukaanya itu tidak diikuti degan
aksi yang mendukungnya. Jadi semacam, menyalahkan orang lain karena kelakuan
yang dia sendiri juga lakukan. Masalahnya bukan ketika kita telat lalu tidak terjadi apa - apa, tapi ada orang yang punya waktu lalu kau biarkan dia membuang buang waktunya untuk menunggumu.
Dari kecil aku sudah di didik untuk
tepat waktu, bukan ding, sebelum waktu. Pagi hari sudah harus bangun sholat,
mandi, sarapan lalu berangkat sekolah. Berangkat sekolahku juga harus lebih
awal, itu pendidikan ibukku. Kata ibukku “opo salahe mangkat luih disik”. Dulu mungkin
aku malas untuk melakukan itu, sejak SD lalu SMP, selalu malas dan acuh degan
perintah ibuk, ya tapi tetap saja berangkatnya awal, walaupun di hati agak
kontra.
Masuk dunia SMA, pengajaran GVT
masuk ke keseharianku, 7 hari GVT mengajarkan bagaimana hidup di Teladan. Berangkat
jam 6 pagi, pulang jam 5 sore, tugas banyak dikerjain sampai jam 3 pagi. Konsekuensinya?
Ya seri. Puh up. Mungkin itu yang membuatku punya dasar untuk kehidupan kelas 1
sampai pertengahan kelas 2. Kenapa sampai pertengahan? Karena di kelas 2 sudah
mulai tumbuh sifat pemalasku, yang berangkat telat, yang sekolah nggak “full
time” hanya sampai babaik “sebelum dzuhur”. Masuk kelas 3 SMA bertemu dengan
wali kelas “the only one Mam Umi” bu umi orangnya disiplin, jadi kelas saya
jadi lebih tertib dari sebelumnya. Mono, ridwan sing sok telat dadi kerep
gasik, tapi ra adus. Tapi duta masih aja bisa ngeles dengan bu umi, lambene cen
lunyu. Tapi mungkin saiki ning akpol de e wes raiso ngeles.
Hal yang sama terjadi ketika aku
akan pergi ke luar kota, misal kereta berngkat pukul 8 mlam, maka aku harus
sampai di stasiun pukul 7 malam, yang artinya jam 1 jam sebelum. Kalau naik
pesawat, ya berarti 1 jam sebelum check in. Hidup seperti itu adalah hidup yang
sulit bagi yang belum terbiasa. Tapi bagi ibukku, harus dibiasakan.
Menurutku, kenapa aku bisa sempat
kehilangan kedisiplinan itu karena bukan males, dan ngulur ulur waktu, bukan. Menurutku
itu terjadi karena sebuah proses panjang yang menekan sesorang ke bagian paling
dalam ketika dia tidak bisa menepati waktu maka akan ada punishment untuknya,
tetapi, ketika tidak ada punishment untuknya maka orang itu jadi kembali lagi.
Ketika ornag di push sampai titik
terndahnya, maka ada 2 kemungkinan ketika dia sudah tidak di push, yaitu dia
berubah, atau dia kembali karena merasa tidak akan ada hal buruk yang
menimpanya.
Orang indonesia bisa “ngaretan”
karena mungkin dalam pemikiran mereka “halah paling yo do telat”. Hal semacam
itulah yang membuat suatu acara bisa mundur, bayangkan ketika semua orang
berpikiran begitu, lalu siapa yang akan datang duluan. Lalu kapan mereka
datang? Mereka datang ketika sudah ada yang menge’pap’ kalau sudah di lokasi. Kasus
kedua adalah, mereka tidak percaya dengan orang lain kalau mereka sudah berada
di tempat, itu artinya mereka meragukan orang lain ketika dia datang tepat
waktu. Mereka menganggap semua itu kelumrahan, karena orang indonesia lumrh
untuk telat.
Hidupku sekarang berada pada
kondisi yang, ketika aku tidak disiplin maka aku tidak akan dapat, ketika aku
tidak asistensi maka akan dapat poin, ketika lebih deadline akan kena sanksi,
ketika tidak masak tidak akan bisa makan, yang mana ketika masak akan lebih
hemat, ketika tidak laundry maka tidak ada baju bersih tetapi ketika “ngumbahi
dewe” akan lebih murah. Hal – hal kecil yang kadang harus butuh waktu untuk
mengaturnya agar sesuai rencana.
Hidup ini terasa berat bagi mereka
yang cengeng, bung!
Malang,
20 Maret 2018