Senin, 19 Maret 2018

HAL - HAL INI TERJADI LAGI

Maret 19, 2018

Entah kenapa aku selalu tidak suka dengan orang yang menyepelekan waktu, bagiku waktu itu sangat penting. Dan benar ternyata seperti kata orang “waktu itu mahal, dan nggak bisa dibeli”. 

Mungkin setiap orang di indonesia juga sama denganku, tidak suka dengan orang yang telat/menyepelekan waktu. Apalagi telat haid, wah bahaya. Namun, dibalik ketidaksukaanya itu tidak diikuti degan aksi yang mendukungnya. Jadi semacam, menyalahkan orang lain karena kelakuan yang dia sendiri juga lakukan. Masalahnya bukan ketika kita telat lalu tidak terjadi apa - apa, tapi ada orang yang punya waktu lalu kau biarkan dia membuang buang waktunya untuk menunggumu.

Dari kecil aku sudah di didik untuk tepat waktu, bukan ding, sebelum waktu. Pagi hari sudah harus bangun sholat, mandi, sarapan lalu berangkat sekolah. Berangkat sekolahku juga harus lebih awal, itu pendidikan ibukku. Kata ibukku “opo salahe mangkat luih disik”. Dulu mungkin aku malas untuk melakukan itu, sejak SD lalu SMP, selalu malas dan acuh degan perintah ibuk, ya tapi tetap saja berangkatnya awal, walaupun di hati agak kontra.

Masuk dunia SMA, pengajaran GVT masuk ke keseharianku, 7 hari GVT mengajarkan bagaimana hidup di Teladan. Berangkat jam 6 pagi, pulang jam 5 sore, tugas banyak dikerjain sampai jam 3 pagi. Konsekuensinya? Ya seri. Puh up. Mungkin itu yang membuatku punya dasar untuk kehidupan kelas 1 sampai pertengahan kelas 2. Kenapa sampai pertengahan? Karena di kelas 2 sudah mulai tumbuh sifat pemalasku, yang berangkat telat, yang sekolah nggak “full time” hanya sampai babaik “sebelum dzuhur”. Masuk kelas 3 SMA bertemu dengan wali kelas “the only one Mam Umi” bu umi orangnya disiplin, jadi kelas saya jadi lebih tertib dari sebelumnya. Mono, ridwan sing sok telat dadi kerep gasik, tapi ra adus. Tapi duta masih aja bisa ngeles dengan bu umi, lambene cen lunyu. Tapi mungkin saiki ning akpol de e wes raiso ngeles. 

Hal yang sama terjadi ketika aku akan pergi ke luar kota, misal kereta berngkat pukul 8 mlam, maka aku harus sampai di stasiun pukul 7 malam, yang artinya jam 1 jam sebelum. Kalau naik pesawat, ya berarti 1 jam sebelum check in. Hidup seperti itu adalah hidup yang sulit bagi yang belum terbiasa. Tapi bagi ibukku, harus dibiasakan. 

Menurutku, kenapa aku bisa sempat kehilangan kedisiplinan itu karena bukan males, dan ngulur ulur waktu, bukan. Menurutku itu terjadi karena sebuah proses panjang yang menekan sesorang ke bagian paling dalam ketika dia tidak bisa menepati waktu maka akan ada punishment untuknya, tetapi, ketika tidak ada punishment untuknya maka orang itu jadi kembali lagi.

Ketika ornag di push sampai titik terndahnya, maka ada 2 kemungkinan ketika dia sudah tidak di push, yaitu dia berubah, atau dia kembali karena merasa tidak akan ada hal buruk yang menimpanya. 

Orang indonesia bisa “ngaretan” karena mungkin dalam pemikiran mereka “halah paling yo do telat”. Hal semacam itulah yang membuat suatu acara bisa mundur, bayangkan ketika semua orang berpikiran begitu, lalu siapa yang akan datang duluan. Lalu kapan mereka datang? Mereka datang ketika sudah ada yang menge’pap’ kalau sudah di lokasi. Kasus kedua adalah, mereka tidak percaya dengan orang lain kalau mereka sudah berada di tempat, itu artinya mereka meragukan orang lain ketika dia datang tepat waktu. Mereka menganggap semua itu kelumrahan, karena orang indonesia lumrh untuk telat. 

Hidupku sekarang berada pada kondisi yang, ketika aku tidak disiplin maka aku tidak akan dapat, ketika aku tidak asistensi maka akan dapat poin, ketika lebih deadline akan kena sanksi, ketika tidak masak tidak akan bisa makan, yang mana ketika masak akan lebih hemat, ketika tidak laundry maka tidak ada baju bersih tetapi ketika “ngumbahi dewe” akan lebih murah. Hal – hal kecil yang kadang harus butuh waktu untuk mengaturnya agar sesuai rencana.

Hidup ini terasa berat bagi mereka yang cengeng, bung!



Malang, 20 Maret 2018