Senin, 22 Mei 2017

JIWA RAGAKU JIWA MULUTKU

Mei 22, 2017


Dampak dari berkurangnya minat membaca adalah semakin bertambahnya minat cangkeman.

Saya tidak akan membahas siapa yang seharusnya benar atau salah. itu terlalu rumit. Tapi saya punya akan satu keyakinan.

Saya hanya akan membahas respon dari khalayak ramai. Ini sungguh lucu, dimana semua orang berlomba – lomba saling menyalahkan satu sama lain dengan dasarnya sendiri – sendiri. Hal – hal yang langsung viral ini membawa dampak terutama pada anak muda. Timeline LINE semakin ramai dengan tulisan – tulisan panjang, pro kontra topik viral ini. Semua yakin akan pendapatnya sampai sampai menyalahkan orang yang tak sependapat denganya. Yang belum punya waktu nulis panjang panjang hanya bisa merepost yang shared-nya sudah ribuan. Yang agak kritis menyalurkanya dengan berkomentar. Banyak juga yang merasa risih dengan semakin banyaknya perselisihan, tetapi tetap saja merepost, munafik bukan?

Keadilan – keadilan yang di tegakkan, membela atas nama bangsa, membela atas nama negara, membela atas nama agama. Dengan segala opini berputar di kepala. Tulis semua pendapat yang seirama disertai kata kata mutiara dari cuplikan tokoh – tokoh ternama.

Saya mulai yakin dengan hipotesis saya bahwa generasi sekarang hanya peduli dengan apa yang sedang trend dan viral, bercangkem mati – matian untuk ikut berpartisipasi dalam ke-viral an itu. Kalau sudah hilang di dunia maya? Hilanglah sudah pendapat – pendapat itu. Dimana pastisipasi kalian dalam kasus nenek yang dilaporkan mencuri buah kakao?, pendirian pabrik di kendeng, PLTU di batang, bijih besi di kulon progo, atau mungkin kasus lumpur lapindo?. Atau mungkin malah tidak tahu. Keadilan – keadilan yang yang hanya memihak pada satu kasus, bullshit!. Tapi tidak apa – apa, sosmed bebas untuk berekspresi. Suka – suka.

Menurut saya, masyarakat di Indonesia saat ini sedang kehilangan jati dirinya. Ya memang dari awal kemerdekaan, jati diri bangsa sudah mulai luntur. Selama masa penjajahan, saat masing masing kelompok, kaum, etnis, suku, dll memperjuangkan kemerdekaan sendiri – sendiri, maka kemerdekaan itu mustahil tercapai. Tapi setelah ada persatuan dan kesatuan, tujuan itu mudah tercapai. Dan persatuan itu adalah dampak dari nasib penjajahan yang menimpa. Jadi mungkin Indonesia perlu dijajah lagi agar masyarakatnya bersatu lagi, hehe.

Menarik dari semua perdebatan yang ada di Indonesia dewasa ini, dugaan saya bahwa Indonesia semakin menjadi negara boneka yang dimainkan oleh aktor – aktor besar. Masih ingat pelajaran sejarah sewaktu masih sekolah dasar, Devide et impera. Hal termudah menghancurkan sesuatu adalah dari dalam. Dalam kasus ini bahwa menghancurkan sebuah negara. Menghancurkan negara dengan adu domba. Sungguh cara efektif, murah, dan mudah. Kobaran api tidak akan bertambah besar tanpa ada oksigen. Tapi tidak akan menjadi api tanpa ada setitik bara api. Lalu, dengan hasil kobaran api yang semakin membesar ini, menurut saya si setitik bara api itu hanya tertawa karena rencananya berhasil.

Negara ini memang sudah bobrok hukum dari dulu, negara hukum yang hukum tidak bersifat absolut. Hukum di Indonesa adalah hukum elastis. Hukum yang keputusanya “tergantung”. Entah tergantung siapa, berani bayar berapa, atau apalah hal busuk lainya. Kalau memang menyerukan ripjustice, sudah terlambat. Negara ini memang begini dari dulu. Ini seperti kalian bangun kesiangan.

Ya allah, iki janjane negoroku meh digawe kepiye ta, sakjane lak penjenengan wes ngerti bakal kaya ngopo kahanane. Yen pancen negoro iki meh digawe bobrok nggih monggo, kula namung manut. Nek pancen akhlak e wong – wongan indonesia ki cen kurang seko rata – rata nggih diajar sisan wae men kapok lan ben iso guyub rukun meneh ya Allah. Akeh wong nyerukke membela atas agama islam, tapi janjane kula tasih bingung sakjane islam utawi panjenengan niku perlu dibela mboten to. Kula sadar yen panjenengan niku maha kabeh. Sakjane nek mung ngajar sak bumi le cilik iki wae gampang tenan. Terus saiki manusia ki dengan kesombongane ngroso nek dek e ki makhluk paling berkuasa. Nek wes duwe kabeh njuk sombong lan ngroso paling bener. Tapi nek lagi ra nduwe opo opo njur kelingan marang panjenengan. Untung wae jenengan maha ngapurakke. Wess jyan.


tulisan ki yo cen salah sijine cangkeman.


Yogyakarta, 22 Mei 2017

Minggu, 07 Mei 2017

ZAMAN BATU

Mei 07, 2017

(Throwback ; lempar balik)

Mungkin ini bisa dibilang curahan hati. Karena beberapa hari yang lalu saya jadi kepikiran. Akhir akhir ini banyak guru yang dilaporkan siswanya sendiri telah melakukan bentuk bentuk kejahatan fisik. Yang mungkin semua sebenarnya ada tujuanya. Entah itu salah bapak/ibu guru atau siswanya yang memang manja.

Sebenarnya hal itu juga saya alami sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Entah saat itu saya yang cuek atau saya memang pemberani. Hahaha. Tapi waktu itu memang tidak ada kasus seperti dewasa ini.

Saya masuk sekolah dasar pada tahun 2005 kalau tidak salah. Saya masuk di SD Pujokusuman 1 Yogyakarta, tempatnya di jalan Kolonel Sugiyono no.9. Kalau dari pojok beteng wetan ke timur beberapa ratus meter, di utara jalan ada SD yang halamanya luas. Sebuah SD yang tergolong tua dengan bangunan kunonya. Memang SD Pujokusuman 1 itu bekas SD IKIP (kalau tidak salah).

    · Kelas 1
Masuk SD di kelas 1 bertemu dengan guru kelas, beliau bernama Ibu Ani, suaranya keras menggelegar dan suka bentak bentak, orangnya tegas dan disiplin. Dengan rambut yang sudah memutih memanjang sampai di atas bahu. Matanya memancarkan aura ketegasan walau hatinya masih tetap mengayomi anak baru yang masih ditunggu orangtua dan kadang pipis di celana.

    · Kelas 2
Ini adalah masa ter-aneh dalam dunia pendidikan menurut saya. SD saya terletak di dekat pasar Pujokusuman. Ibu guru kelas 2 bernama Ibu Djumiyem. Bu Djum lebih santai daripada Bu Ani yang kerap mondar – mandir di kelas sambil berbicara dengan lantang, beliau lebih suka duduk di kursi guru dan membaca untuk anak – anak. Tetapi beliau punya tugas berat bagi beberapa ‘orang orang terpilih’nya. Beliau sering menyuruh siswa kelas 2 SD, kelas 2 SD. Untuk belanja di pasar. Siswa nanti diberi catatan apa yang harus dibeli dan dibekali uang. Memang lucu.

    · Kelas 3
Kelas 3 di SD ini kami seangkatan bertemu dengan Bapak Ngatijo. Beliau juga tergolong sudah berumur dengan rambut yang sudah memutih dan sudah jarang. Beliau paling tidak suka dengan ketidakrapian. Apalagi masalah rambut. Siswa yang tidak rapi pasti berurusan dengan beliau, contohnya saya. Kelas 3 SD rambut saya terlalu panjang melebihi batas normal. Ya hukumanya memang tidak dipotong, tetapi di’jenggit’ di bagia godek (bahasa indonesiane opoyo). Sumpah ini adalah hukuman terberat dan tak kenal ampun, sampai anak yang dijenggit itu menangis baru selesai. Ya hasilnya bisa merah lebam yang tak kunjung hilang 2 hari.

    · Kelas 4
Pak Endarto, guru kelas 4. Sudah terkenal galaknya. Waktu saya masih kelas 1-3 kakak kelas sudah banyak yang menceritakan. Perawakanya necis. Dengan kumis tebal, kulitnya putih. Badan tinggi. Dan celananya cutbray. Beliau paling tidak suka dengan keramaian. Tipe mengajarnya dengan membawa penggaris kayu 1 meter di tanganya. Dengan sesekali memukul meja dengan penggaris itu. Sungguh itu adalah peringatan yang nyata. “jeblarr”. Gaman pembantunya adalah penghapus papan tulis kapur yang terbuat dari kayu. Yang digunakan tidak untuk menghapus. Tetapi lebih sering melayang – layang di kelas. Siswa yang rame dipojokan sering kena ‘bandem’ penghapus dari pojokan meja guru.

Kelas 5 & 6 lebih santai karena memang harus mengejar untuk ujian.

Ya begitulah. Mungkin teman – teman ada yang merasakan ada juga yang tidak. Intinya perbedaan zaman telah mengubah sistem pendidikan saat ini. Tetapi beruntunglah saya karena masih bisa merasakan zaman paleolithikum itu. Dimana gadget tak ada di genggaman. Sadar tak sadar telah memberikan dampak bagi kehidupan saya.

Dan saya sangat berterimakasih kepada guru – guru saya yang telah mengajarkan apa itu kebenaran dan kebaikan. Semoga menjadi amal jariyah untuk bapak dan ibu guru.


Yogyakarta, 7 Mei 2017