(Throwback ; lempar balik)
Mungkin ini bisa dibilang curahan hati. Karena beberapa hari yang lalu saya jadi kepikiran. Akhir akhir ini banyak guru yang dilaporkan siswanya sendiri telah melakukan bentuk bentuk kejahatan fisik. Yang mungkin semua sebenarnya ada tujuanya. Entah itu salah bapak/ibu guru atau siswanya yang memang manja.
Sebenarnya hal itu juga saya alami sewaktu masih duduk di sekolah dasar. Entah saat itu saya yang cuek atau saya memang pemberani. Hahaha. Tapi waktu itu memang tidak ada kasus seperti dewasa ini.
Saya masuk sekolah dasar pada tahun 2005 kalau tidak salah. Saya masuk di SD Pujokusuman 1 Yogyakarta, tempatnya di jalan Kolonel Sugiyono no.9. Kalau dari pojok beteng wetan ke timur beberapa ratus meter, di utara jalan ada SD yang halamanya luas. Sebuah SD yang tergolong tua dengan bangunan kunonya. Memang SD Pujokusuman 1 itu bekas SD IKIP (kalau tidak salah).
· Kelas 1
Masuk SD di kelas 1 bertemu dengan guru kelas, beliau bernama Ibu Ani, suaranya keras menggelegar dan suka bentak bentak, orangnya tegas dan disiplin. Dengan rambut yang sudah memutih memanjang sampai di atas bahu. Matanya memancarkan aura ketegasan walau hatinya masih tetap mengayomi anak baru yang masih ditunggu orangtua dan kadang pipis di celana.
· Kelas 2
Ini adalah masa ter-aneh dalam dunia pendidikan menurut saya. SD saya terletak di dekat pasar Pujokusuman. Ibu guru kelas 2 bernama Ibu Djumiyem. Bu Djum lebih santai daripada Bu Ani yang kerap mondar – mandir di kelas sambil berbicara dengan lantang, beliau lebih suka duduk di kursi guru dan membaca untuk anak – anak. Tetapi beliau punya tugas berat bagi beberapa ‘orang orang terpilih’nya. Beliau sering menyuruh siswa kelas 2 SD, kelas 2 SD. Untuk belanja di pasar. Siswa nanti diberi catatan apa yang harus dibeli dan dibekali uang. Memang lucu.
· Kelas 3
Kelas 3 di SD ini kami seangkatan bertemu dengan Bapak Ngatijo. Beliau juga tergolong sudah berumur dengan rambut yang sudah memutih dan sudah jarang. Beliau paling tidak suka dengan ketidakrapian. Apalagi masalah rambut. Siswa yang tidak rapi pasti berurusan dengan beliau, contohnya saya. Kelas 3 SD rambut saya terlalu panjang melebihi batas normal. Ya hukumanya memang tidak dipotong, tetapi di’jenggit’ di bagia godek (bahasa indonesiane opoyo). Sumpah ini adalah hukuman terberat dan tak kenal ampun, sampai anak yang dijenggit itu menangis baru selesai. Ya hasilnya bisa merah lebam yang tak kunjung hilang 2 hari.
· Kelas 4
Pak Endarto, guru kelas 4. Sudah terkenal galaknya. Waktu saya masih kelas 1-3 kakak kelas sudah banyak yang menceritakan. Perawakanya necis. Dengan kumis tebal, kulitnya putih. Badan tinggi. Dan celananya cutbray. Beliau paling tidak suka dengan keramaian. Tipe mengajarnya dengan membawa penggaris kayu 1 meter di tanganya. Dengan sesekali memukul meja dengan penggaris itu. Sungguh itu adalah peringatan yang nyata. “jeblarr”. Gaman pembantunya adalah penghapus papan tulis kapur yang terbuat dari kayu. Yang digunakan tidak untuk menghapus. Tetapi lebih sering melayang – layang di kelas. Siswa yang rame dipojokan sering kena ‘bandem’ penghapus dari pojokan meja guru.
Kelas 5 & 6 lebih santai karena memang harus mengejar untuk ujian.
Ya begitulah. Mungkin teman – teman ada yang merasakan ada juga yang tidak. Intinya perbedaan zaman telah mengubah sistem pendidikan saat ini. Tetapi beruntunglah saya karena masih bisa merasakan zaman paleolithikum itu. Dimana gadget tak ada di genggaman. Sadar tak sadar telah memberikan dampak bagi kehidupan saya.
Dan saya sangat berterimakasih kepada guru – guru saya yang telah mengajarkan apa itu kebenaran dan kebaikan. Semoga menjadi amal jariyah untuk bapak dan ibu guru.
Yogyakarta, 7 Mei 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar