Pendakian
kali ini adalah pendakian yang sangat terdapat pelajaran bagiku. Aku belajar
kehidupan dari alam, dan memang alam
adalah tempat terbaik untuk belajar.
Lalu buat apa
naik gunung? Buat apa, bukan kenapa.
Kata
seseorang master taman nasional se-indonesia yang aku temui di basecamp, bahwa
naik gunung hanya untuk ngopi2 di ketinggian, itulah alasanya 1987 lalu. Lalu
kata seseorang lagi, naik gunung untuk mencari ketenangan hidup dalam
keselarasan dengan alam.
Tapi apalah
guna mencari ketenangan kalau keluarga mencemaskan kita di rumah?
H-1 aku baru
ijin ke ibuk untuk berangkat ke malang naik semeru, entah kenapa aku selalu tak
berani ijin jauh – jauh hari.
Walaupun
diijinkan dengan sepatah kata “diniati tadabbur alam, sebagai sarana
pembelajaran kebesaran Allah. Tetep taati peraturan untuk selalu bersama, dan
ojo lali ndonga” tapi tetap dalam hati ibuk mungin lebih menginginkan anaknya
di rumah.
Lalu buat apa
naik gunung?
Kalau kita
hanya menjadi manusia yang egois dengan alasan – alasan pembenaran kita
sendiri?
Dan ternyata
benar, tadabbur alam bukan hanya soal fisik alam semesta, bukan hanya bentangan
elok bumi allah tapi juga akal dan hati yang telah dikaruniakan pada setiap
insan. Disini aku belajar untuk memahami sifat seseorang, bagaimana dia dalam
kondisi terendahnya.
Aku juga
bertemu dengan bapak2 taman nasional yang berpikiran bahwa “bawa pulanglah
edelweiss itu, karena semakin dia dipotong semakin rimbun dia tumbuh. Yang
jangan itu bunga cantigi. Karena semua itu Cuma asal – asalan pencinta bonsai”
Ini pendakian
pertama kali aku menangis melihat matahari terbit. Aku tak tahu sebenarnya karena
apa aku bisa menangis melihat matahari terbit,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar