Minggu, 21 Oktober 2018

PERJALANAN HATI II






Pendakian kali ini adalah pendakian yang sangat terdapat pelajaran bagiku. Aku belajar kehidupan  dari alam, dan memang alam adalah tempat terbaik untuk belajar.
Lalu buat apa naik gunung? Buat apa, bukan kenapa.
Kata seseorang master taman nasional se-indonesia yang aku temui di basecamp, bahwa naik gunung hanya untuk ngopi2 di ketinggian, itulah alasanya 1987 lalu. Lalu kata seseorang lagi, naik gunung untuk mencari ketenangan hidup dalam keselarasan dengan alam.
Tapi apalah guna mencari ketenangan kalau keluarga mencemaskan kita di rumah?
H-1 aku baru ijin ke ibuk untuk berangkat ke malang naik semeru, entah kenapa aku selalu tak berani ijin jauh – jauh hari.
Walaupun diijinkan dengan sepatah kata “diniati tadabbur alam, sebagai sarana pembelajaran kebesaran Allah. Tetep taati peraturan untuk selalu bersama, dan ojo lali ndonga” tapi tetap dalam hati ibuk mungin lebih menginginkan anaknya di rumah.
Lalu buat apa naik gunung?
Kalau kita hanya menjadi manusia yang egois dengan alasan – alasan pembenaran kita sendiri?
Dan ternyata benar, tadabbur alam bukan hanya soal fisik alam semesta, bukan hanya bentangan elok bumi allah tapi juga akal dan hati yang telah dikaruniakan pada setiap insan. Disini aku belajar untuk memahami sifat seseorang, bagaimana dia dalam kondisi terendahnya.
Aku juga bertemu dengan bapak2 taman nasional yang berpikiran bahwa “bawa pulanglah edelweiss itu, karena semakin dia dipotong semakin rimbun dia tumbuh. Yang jangan itu bunga cantigi. Karena semua itu Cuma asal – asalan pencinta bonsai”
Ini pendakian pertama kali aku menangis melihat matahari terbit. Aku tak tahu sebenarnya karena apa aku bisa menangis melihat matahari terbit,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar