Mulai banyak berkompromi dengan
banyak hal, dengan segala yang dijalani dalam kehidupan, dalam setiap keputusan
yang di ambil dan juga tentunya resiku yang bakal diterima.
Mulai malu dengan apa yang seharusnya
tak dapat diminta lagi, dengan segala hal yang menurutku abu abu dalam hubungan
anak-orangtua. Padahal mestinya itu masih menjadi tanggung jawab orang tua, mau
setua apapun, orangtua akan tetap merasa bertanggun jawab pada anaknya.
Beberapa bulan yang lalu saya melihat
video, kakek – kakek yang melanggar batas maksimum kecepatan berkendara, ketika
hakim bertanya kenapa melanggar lalu lintas sang kakek menjawab bahwa biasanya
ia tidak berkendara secepat itu tetapi pada hari itu sang kakek baru mengantar
anaknya untuk cuci darah karena anaknya menderita kanker. Ia ditanya lagi
berapa umurnya oleh sang hakim, kalau tidak salah berumur 90 tahun dan anaknya
berumur 60 tahun. Akhirnya hakim memvonis bahwa sang kakek diampuni dengan mata
yang berkaca melihat perjuangan seorang orangtua.
Pernah nggak sih kalian mikir bahwa
‘kita’ ini, mungkin yang sekarang berusia sama denganku bahwa kita ini sudah
dewasa, rasanya pengen sekali ngomong dengan orangtua bahwa ‘aku ki wes gede,
wes iso mbedakke endi sing bener endi sing salah, endi sing apik endi sing
elek’ tapi ternayata belum sempat aku daridulu bialgn begitu aku sudah
menemukan jawabanya bahwa ya memang setua apapun kita, seberapa besar kita,
anggapan orangtua masih akan tetap sama, kita hanyalah seorang anak kecil yang
daridulu dirawat dengan penuh pengorbanan orangtua. Mereka akan tertus
menganggap kita seorang yang manja seperti saat kecil kita selalu merengek
ketika menginginkan seuatu.
Aku belum menjadi orangtua, tapi
rasanya terasa sedih dan juga senang sih melihat anak tumbuh dan berkembang,
rasanya besok ketika aku sudah punya anak, aku tidak akan melewatkan masa
kecilnya. Kata teman saya ‘golden age’ anak itu 5 tahun pertama, dan itu adalah
sifat yang akan dibawanya selalgi tumbuh dewasa. Selebihnya ia dibentuk oleh
lingkunganya.
Di umur ini juga sudah mengurangi
mencitpakan romantisme pada suatu hal, mulai melihat rasionalitas, tapi aku
kira lebih ke ‘has luweh’
Quarter life crisis?
Hm, entah apa yang kurasakan saaat
ini adalah quarter life cisys apa bukan, mulai dari menentukan pilihan pun
sudah agak menimbang dan berikir ke depan lagi, tidak mau merasa buang buang
waktu untuk hal yang tidak berguna dan menghasilkan. Terlebih lagi dalam cinta,
entah kenapa tidak ada urgensitas untuk mencari pasangan, walaupun kadang juga
timbul keinginan, tapi tidak lama. Intinya belum ada tujuan yang jelas sampai
belum bisa menetukan apa porses yang harus diambil. Semoga saja segera
tercerahkan.
Aku selalu suka September dan 1998,
entah mengapa merasa beruntung dapat lahir dalam saat saat bersejarah. Dan di
usia kali ini, terulang lagi peristiwa seperti dulu, walau tidak sepenuhnya
sama.
·
23
september kemarin mulai pergerakan #gejayanmemanggil dan aksi aksi mahasiswa di
kota lain yang menuntung tentang ruukuhp dan ruu kpk, detailnya tidak paham
pokoknya gitu deh.
·
24
september, mulai pada away ke senayan semua lapis mahasiswa dari berbagai
kampus.
·
25
september, gentian cah cah smk Jakarta all base cuk po ra sangar,
Lumayan beberapa hari ini emang kondisi ibu pertiwi
campur aduk, papua memanas, Sumatra & Kalimantan terbakar,
Aku selalu percaya bahwa hubungan itu
dipupuk mbok sithik, timik timik waton kelakon. Waktu yang menjadikanya abadi
bukan materi atau hal dunia materialis lainnya.
Dan kalo kata mbah tedjo, puncak
cinta antar 2 orang adalah ketika ia tidak saling bertemu, tidak saling
berkomunikasi, tetapi saling mendoakan satu sama lannya.
28 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar