Minggu, 22 Maret 2020

MASYARAKAT ANGKUH

Maret 22, 2020

Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mangkat, 1988
Berada pada zona nyaman terkadang membuat orang menjadi angkuh, karena ya ia merasa kehidupanya baik baik saja, bahkan untuk apa yang tak jarang bersinggung dengan orang lain. Yang lebih parah jika berada pada zona nyaman dengan kondisi yang sering menerima pujian atas apa yang biasa dilakukan. 

Aku melihatnya dari society di jogja, walaupun ini adalah kota kelahiranku, tempat aku dibesarkan, dan banyak kisah tercipta di kota ini, tak perlu dipungkiri aku mencintai kota ini. Tetapi aku tidak sedemikian dalamnya dalam meromantisasi suatu hal, bahwa jogja ya jogja sebuah kota, sebuah tempat. Cukup. Tak perlu lagi dihiperbol.

Orang – orang  di kota ini hidup dalam klise hidup yang nyaman, aman dan tenang. Jarang menerima kritik dan sering penerimaan pujian, entah atas kota yang istimewa, toleran, nyaman dan bahagia atau hal lain. Ini membuat orang – orang di kota ini terbiaskan dengan kebiasaan itu, bahkan orang orangnya tidak bertindak untuk mencapai penghargaan saja tetap saja di puji. Karena dasar dari pujian orang luar terhadap jogja itu ya karena lelaku sehari – hari masyarakatnya. Mudahnya, mereka hidup sehari – hari saja mungkin bakal dikagumi oleh orang lain. 

Ini menimbulkan keresahan jika mereka sekali saja menerima kritik yang tidak suka dengan kota ini, seakan akan orang itu adalah orang paling jahat di muka bumi karena tidak bersikap seperti kebanyakan orang yang memuji kota ini. Semua manusia sama saja entah darimana asalnya, warna kulit, ataupun Bahasa yang digunakan, mereka akan lebih “senang” jika hanya mendengarkan hal – hal baik yang orang lihat pada dirinya.

Beberapa waktu yang lalu sempat rishi dengan kalimat “nek ra seneng metu wae seko jogja” ini menggambarkan bahwa sesungguhnya mayoritaslah pemegang suara terbesar dalam menentukan kebijakan hajat hidup orang banyak. Dan dari sini timbul beberapa sikap – sikap yang menurutku menunjukkan bahwa sikap asli orang – orang yang cenderung barbar dan semaunya sendiri. Tanpa disadari inilah bentuk hasil pemujaan selama bertahun – tahun ini, inilah buahnya. Cenderung merasa ‘tidak butuh’ orang lain jadi mereka seakan bisa hidup sendiri dengan kakinya sendiri. 

Aku mencintai kota ini, tanah kelahiranku, tanah kelahiran moyangku. Tetapi maaf, bentuk kecintaanku tidak melulu mengagungkan apa yang sudah terbentuk dalam society. Aku akan terus mengkritik apa yang menurutku tidak sesuai dengan norma hidup di tengah masyarakat. Karena kalau sifat – sifat itu tetap langgeng di kota ini, maka jogja di kemudian hari hanyalah ‘ampas’ warisan pujaan masa lalu. Dan apa yang anakku kelak ketahui hanyalah cerita – cerita bahwa ‘dulu jogja itu…’ basi. 

Yogyakarta, 22 Maret 2020