Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mangkat, 1988 |
Berada pada zona nyaman terkadang membuat orang
menjadi angkuh, karena ya ia merasa kehidupanya baik baik saja, bahkan untuk
apa yang tak jarang bersinggung dengan orang lain. Yang lebih parah jika berada
pada zona nyaman dengan kondisi yang sering menerima pujian atas apa yang biasa
dilakukan.
Aku melihatnya dari society di jogja, walaupun ini
adalah kota kelahiranku, tempat aku dibesarkan, dan banyak kisah tercipta di
kota ini, tak perlu dipungkiri aku mencintai kota ini. Tetapi aku tidak
sedemikian dalamnya dalam meromantisasi suatu hal, bahwa jogja ya jogja sebuah
kota, sebuah tempat. Cukup. Tak perlu lagi dihiperbol.
Orang – orang di kota ini hidup dalam klise hidup yang
nyaman, aman dan tenang. Jarang menerima kritik dan sering penerimaan pujian,
entah atas kota yang istimewa, toleran, nyaman dan bahagia atau hal lain. Ini membuat
orang – orang di kota ini terbiaskan dengan kebiasaan itu, bahkan orang
orangnya tidak bertindak untuk mencapai penghargaan saja tetap saja di puji. Karena
dasar dari pujian orang luar terhadap jogja itu ya karena lelaku sehari – hari masyarakatnya.
Mudahnya, mereka hidup sehari – hari saja mungkin bakal dikagumi oleh orang
lain.
Ini menimbulkan keresahan jika mereka sekali saja
menerima kritik yang tidak suka dengan kota ini, seakan akan orang itu adalah
orang paling jahat di muka bumi karena tidak bersikap seperti kebanyakan orang
yang memuji kota ini. Semua manusia sama saja entah darimana asalnya, warna
kulit, ataupun Bahasa yang digunakan, mereka akan lebih “senang” jika hanya
mendengarkan hal – hal baik yang orang lihat pada dirinya.
Beberapa waktu yang lalu sempat rishi dengan kalimat “nek
ra seneng metu wae seko jogja” ini menggambarkan bahwa sesungguhnya
mayoritaslah pemegang suara terbesar dalam menentukan kebijakan hajat hidup
orang banyak. Dan dari sini timbul beberapa sikap – sikap yang menurutku menunjukkan
bahwa sikap asli orang – orang yang cenderung barbar dan semaunya sendiri. Tanpa
disadari inilah bentuk hasil pemujaan selama bertahun – tahun ini, inilah
buahnya. Cenderung merasa ‘tidak butuh’ orang lain jadi mereka seakan bisa
hidup sendiri dengan kakinya sendiri.
Aku mencintai kota ini, tanah kelahiranku, tanah
kelahiran moyangku. Tetapi maaf, bentuk kecintaanku tidak melulu mengagungkan
apa yang sudah terbentuk dalam society. Aku akan terus mengkritik apa yang menurutku
tidak sesuai dengan norma hidup di tengah masyarakat. Karena kalau sifat –
sifat itu tetap langgeng di kota ini, maka jogja di kemudian hari hanyalah ‘ampas’
warisan pujaan masa lalu. Dan apa yang anakku kelak ketahui hanyalah cerita –
cerita bahwa ‘dulu jogja itu…’ basi.
Yogyakarta, 22 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar