Rumahku terletak
di kampung Prawirodirjan, pinggir sungai code. Di kecamatan Gondomanan
Ancer – ancernya
dari purawisata lurus ke timur aja mentok sampai turunan lalu ke utara.
Rumahku ini
adalah rumah simbah sanden, konon katanya daerah yang ku tempati saat ini
adalah ledok (rawa) makanya prawirodirjan sering disebut ledok prawirodirjan.
Oiya, aku kurang tahu sejarahnya tapi yang membangun rumah disini bukan hanya
simbah sanden, tetapi juga ada beberapa keluarga besarku yang sama asalnya dari
sanden. Jadi di kampung ini aku punya saudara.
Dulu awalnya
yang nempatin rumahku ini bapak, waktu itu bapak usia SMA dan karena bapak
sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, makanya bapak tinggal di sini, tapi
setahuku bapak tidak tinggal sendiri, ada beberapa orang sanden yang
orangtuanya nitip ke simbah untuk nunut tinggal di rumah simbah, jadi bapak
tinggal dengan beberapa ornag sanden.
Kata mbakku,
dulu waktu aku belum lahir rumahku ini dibilangnya menggenaskan, belum dipasang
plafon dan lepo (lapisan semen dinding, tapi itu sampai sekarang). Jadi dulu
waktu mbakku masih kecil waktu tidur suka ketrocohan kalau hujan.
Pokoknya waktu
aku mulai lahir, mulai terjadi revolusilah di rumah ini, lantai yang semua
tegel lalu di keramik, dipasang ternit, setengah dinding di keramik, dan masih
banyak lagi.
- · Orientasi
Oiya mengenais
struktur, kalau dari pengamatanku rumahku ini tidak ada besi bertulangnya di
ujung – ujung tembok, jadi dibuat semacam pilar yang ukuranya lebih besar dari
dinding dan lantainya dulu masih pakai tegel (sampai aku masuk sd lalu di
keramik)
Dulu rumahku
yang sekarang aku tinggali hanya setengah dari luas sekarang, sisanya kebun,
dulu ada 2 pohon mangga besar yang kayaknya cukup menyeramkan. Yang satu
ditebang saat terjadi revolusi untuk dibangun kamar tidur dan kamar mandi. Jadi
sekarang tanah lapang di balakang hanya tinggal sedikit, sekitar 3x6 meter
saja.
Halaman depan
rumahku dulu ada pagar, tetapi dari wit teh – tehan, biasanya dipakai untuk
memagari rumah di desa – desa, entah kenapa selama tinggal di rumah kampung
itu, hanya rumahku yang memakai wit teh – tehan, sama dulu ada pohon kaktus
besar sekali di sisi timur rumah, yang akhirnya membuatku cedera(?) karna pohon
kaktus ini sangat subur dan membahayakan akhirnya sama bapak dipangkas habis.
Oiya pagar wit teh – tehan juga sudah nggak ada sekarang.
Halaman depan
rumahku kini dibangun dengan konsep cakruk, itu impian ibuk dulu untuk
membangun cakruk dengan lincak dan kenthongan, ayak ayak wae.
Sekitar 2 tahun
lalu sisa halaman depan di keramik sema bapak dan di payungi galvanum agar
nggak kehujanan J
Ngomong –
ngomong soal pembangunan, rumahku ini adalah rumah yang berkembang menurutku,
bukan rumah yang sudah jadi lalu ditempati. Dan dalang dibalik pembangunan itu
ya bapak.
- · Kebiasaan rumah
Posisi furniture
di rumahku ini nggak pernah stuck di tempat, setiap 2 tahun sekali pasti bapak
pindah pindah untuk mengganti letak, entah itu tv, kulkas, meja makan, lemari,
dsb. Jadi hari hari kami tidak monoton hanya memandang letak yang sama
sealamanya.
Kami punya meja
makan, tetapi tidak pernah digunakan. Kami punya satu set meja makan dengan
meja dan 4 kursi. Tetapi kebiasaan kami yang suka makan bersama setelah
ibuk/bapak masak langsung ditaruh di lesehan di depan tv, ambil piring, minm
dan segala weapon makan lainya, duduk melingkar lalu makan sambil berbincang.
Setelah makan kebiasaan buruk kami yaitu, kadang berjam – jam piring kotor di
tengah ruang bersama.
Karna kami tidak
punya sofa di tempat nonton tv, kasur busa yang nggak kepakai kadang sebagai
gantinya, dipindahkan ke ruang nonton tv lalu untuk tidur sambil nonton tv.
- · Anak ketiga
Kami, punya
anggota keluarga lain selain bapak, ibu, mbak ipah, dan aku. Setiap hari kami
memberinya makan, minum, tempat tinggal. Tapi itu bukan berarti kami
mengharapkan kehadiranya. Kadang juga jengkel kalau lihat dia, kadang juga
takut dan kadang menyebalkan. Dia hanya butuh waktu perlu saja dan menghilang
waktu nggak perlu. Tapi yang perlu diketahui, dia bukan manusia. Palagi kalau
bukan tikus. Tapi untungnya tikus di rumah ini hanya makan makanan dari tempa
sampah, walau kadang sedikit menyemil lemari, kabel, dan benda – benda abstrak
lainnya, bukan tikus yang suka makan uang rakyat, ahah.
Rumah ini
menyimpan banyak kenangan dan banyak perjuangan. Mungkin setiap orang yang
ditanya pasti akan bilang kalau rumahnya paling bagus, mungkin jika yang
menjawab tidak dia kurang bisa mensyukuri apa yang Allah berikan. Rumah bukan
hanya soal materi, bukan soal perabot, bentuk, warna dan semacamnya. Di
dalamnya terkandung cinta kasih, kekeluargaan, perjuangan, dan kegagalan.
Apa guna rumah
kalau tidak ada semua itu di dalamnya, ketika rumah hanya berisi benda – benda
mati yang tak bernyawa, yang tak punya rasa dan kasih sayang. Mungkin tidak
akan krasan untuk tinggal di rumah seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar