Selasa, 10 Desember 2019

WONG JOWO

Desember 10, 2019

Tipikal orang jawa itu, memendam prasaan untuk menghargai perasaan orang lain. Dalam bukunya, mochtar lubis menyebutkan bahwa pendidikan orangtua jawa pada anaknya adalah untuk jangan menyakiti hati orang lain, berbeda dengan orangut eropa yang mengajarkan pada anaknya untuk berkata jujur. Dalam benak seseorang manusia, dua contoh pengajaran itu bisa saja beririsan tetapi banyak yang bertolak belakang, dalam artian seseorang yang menganut hidup untuk jangan menyakiti hati orang lain maka ia cenderung memilih jalan yang mudah untuk jangan berkata apapun pada lawan bicaranya sehingga tidak aka nada hati yang tersakiti. Tetapi mungkin bagi orang orang yang pandai dalam merangkai kata, ia akan memilih diksi yang tepat untuk memberitahu apa yang ingin dia benarkan dan apapun pendapat da nisi otak mereka kepada lawan bicaranya.
Ketika orang menyembunyikan perasaan utnuk menjaga hati orang lain, maka ia akan mendapat hasil yang berlawanan pada sisi lainya. Ini mungkin dapat di analogikan sebagai dua mata pisau, ketika kau berani untuk mengambil jkeputusan untuk menjaga hati orang lain yang sedang kau jaga, maka di sisi lain aka nada orang lain yang tersakiti dengan pilihanmu.
Berbeda dengan orang eropa yang cenderung untuk berkara jujur apapun yang dia lihat dan apapun yang dia rasakan, enak yang enak tidak enak ya tidak enak. Terlepas dari perasaan yang akan diterima oleh lawan bicaranya. Maka jangan heran kalau dampak dari itu itu semua terbentuk manusia eropa yang lebih mengandalkna logika dalam bicara dibandingkan dengan perasaan. Bebred dengan orang jawa yang kebanyakan baper atau bawa perasaan pada lawan bicarnya karena perkataan mereka yang tidak mengenakkan hati
Aku tak tahu mana yang lebih baik, tetapi semua dari itu memiliki nilai kurang dan lebihnya, mana yang lebih baik akupun tak tahu.
Tapi akhir akhir ini au lihat masyarakat yang lebih liberal menganut pemikiran yang lebih mengedepankan logika, ketika itu terjadi pada suatu kelompok masyarakat maka tidak jarang ada hati yang tidak siap dan cenderung tersakiti dengan adanya itu. Manusia manusia yang belum siap dengan adanya perbedaan pemikiran. Juga sebalinya jika manusia eropa yang cenderung menggunakan perasaan dalam bicara maka mungkin bagi sebagia keoompok masyarakat yang lain itu adalah perkataan yang tak logis yang dikeluarkan seseorang, satunya melibatkan hati satunya melibatkan otak.

 16 Oktober 2019

BABAK BARU KEPALA 2

Desember 10, 2019



Usia 21.
Mulai banyak berkompromi dengan banyak hal, dengan segala yang dijalani dalam kehidupan, dalam setiap keputusan yang di ambil dan juga tentunya resiku yang bakal diterima.
Mulai malu dengan apa yang seharusnya tak dapat diminta lagi, dengan segala hal yang menurutku abu abu dalam hubungan anak-orangtua. Padahal mestinya itu masih menjadi tanggung jawab orang tua, mau setua apapun, orangtua akan tetap merasa bertanggun jawab pada anaknya.
Beberapa bulan yang lalu saya melihat video, kakek – kakek yang melanggar batas maksimum kecepatan berkendara, ketika hakim bertanya kenapa melanggar lalu lintas sang kakek menjawab bahwa biasanya ia tidak berkendara secepat itu tetapi pada hari itu sang kakek baru mengantar anaknya untuk cuci darah karena anaknya menderita kanker. Ia ditanya lagi berapa umurnya oleh sang hakim, kalau tidak salah berumur 90 tahun dan anaknya berumur 60 tahun. Akhirnya hakim memvonis bahwa sang kakek diampuni dengan mata yang berkaca melihat perjuangan seorang orangtua.
Pernah nggak sih kalian mikir bahwa ‘kita’ ini, mungkin yang sekarang berusia sama denganku bahwa kita ini sudah dewasa, rasanya pengen sekali ngomong dengan orangtua bahwa ‘aku ki wes gede, wes iso mbedakke endi sing bener endi sing salah, endi sing apik endi sing elek’ tapi ternayata belum sempat aku daridulu bialgn begitu aku sudah menemukan jawabanya bahwa ya memang setua apapun kita, seberapa besar kita, anggapan orangtua masih akan tetap sama, kita hanyalah seorang anak kecil yang daridulu dirawat dengan penuh pengorbanan orangtua. Mereka akan tertus menganggap kita seorang yang manja seperti saat kecil kita selalu merengek ketika menginginkan seuatu.
Aku belum menjadi orangtua, tapi rasanya terasa sedih dan juga senang sih melihat anak tumbuh dan berkembang, rasanya besok ketika aku sudah punya anak, aku tidak akan melewatkan masa kecilnya. Kata teman saya ‘golden age’ anak itu 5 tahun pertama, dan itu adalah sifat yang akan dibawanya selalgi tumbuh dewasa. Selebihnya ia dibentuk oleh lingkunganya.
Di umur ini juga sudah mengurangi mencitpakan romantisme pada suatu hal, mulai melihat rasionalitas, tapi aku kira lebih ke ‘has luweh’
Quarter life crisis?
Hm, entah apa yang kurasakan saaat ini adalah quarter life cisys apa bukan, mulai dari menentukan pilihan pun sudah agak menimbang dan berikir ke depan lagi, tidak mau merasa buang buang waktu untuk hal yang tidak berguna dan menghasilkan. Terlebih lagi dalam cinta, entah kenapa tidak ada urgensitas untuk mencari pasangan, walaupun kadang juga timbul keinginan, tapi tidak lama. Intinya belum ada tujuan yang jelas sampai belum bisa menetukan apa porses yang harus diambil. Semoga saja segera tercerahkan.
Aku selalu suka September dan 1998, entah mengapa merasa beruntung dapat lahir dalam saat saat bersejarah. Dan di usia kali ini, terulang lagi peristiwa seperti dulu, walau tidak sepenuhnya sama.
·       23 september kemarin mulai pergerakan #gejayanmemanggil dan aksi aksi mahasiswa di kota lain yang menuntung tentang ruukuhp dan ruu kpk, detailnya tidak paham pokoknya gitu deh.
·       24 september, mulai pada away ke senayan semua lapis mahasiswa dari berbagai kampus.
·       25 september, gentian cah cah smk Jakarta all base cuk po ra sangar,
Lumayan beberapa hari ini emang kondisi ibu pertiwi campur aduk, papua memanas, Sumatra & Kalimantan terbakar,
Aku selalu percaya bahwa hubungan itu dipupuk mbok sithik, timik timik waton kelakon. Waktu yang menjadikanya abadi bukan materi atau hal dunia materialis lainnya.
Dan kalo kata mbah tedjo, puncak cinta antar 2 orang adalah ketika ia tidak saling bertemu, tidak saling berkomunikasi, tetapi saling mendoakan satu sama lannya. 

 28 September 2019


Minggu, 15 September 2019

NRIMO

September 15, 2019


 
Semakin dewasa semakin menemui realita yang dari dulu tersebut – sebut. “kita tidak bisa memahami orang lain”
Semakin kesini semakin bertemu dengan banyak orang yang berbeda tingkah laku, berbeda sifat dan sikap. Berbeda sudut pandang dan pola pikir.
Harus selalu menyadari bahwa kapasitas kita sebagai bagian dari suatu masyarakat sama halnya atau sama derajatnya dengan manusia lain, bukan tendensi yang harus kita besarkan,tapi hati yang harus selalu menerima apa yang ada.

MATINYA PERASAAN

September 15, 2019



Lalu menurutmu lebih menyakitkan mana, kehilangan nyawa atau tidak hidup di dalamnya. Dalam artian ini saya mencoba membandingkan dalam dua hal entah itu akan menjadi perbandingan yang seimbang atau tidak, kita lihat nanti dan anda nilai kemudian.
Menurutku tiada yang lebih kuat daripada orang ang kehilangan nyawa salah seorang terpenting dalam hidupnya. Tetapi, bagaimana dengan orang yang sejak awal memang tidak berada pada kehidupan dengan konsep itu? Saya ambil contoh begini, lebih menyakitkan mana orang yang kehilangan orang tuanya dalam artian meninggal, atau orang yang sudah sejak lahir sudah tidak hidup dalam konsep keluarga yang terdiri dari susunan ayah,ibu dan anak. Mungkin hanya ibu dan anak atau ayah dengan anaknya.
Bulan juli ini mendengar kbr duka dari 2 orang yang dekat denganku, pak singgih, guru olahraga smaku yang juga kesiswaan yang artianya dekat dengan anak anak sekolah, Pakdhe Nurto yang adalah kakak dari ibuk
Dalam 2 peristiwa itu saya melihat kesedihan yang begitu mendalam bagi orang orang yang setip hari berdekatan hidupnya dengan almarhum. Saya yang termasuk orang perasa jadi iku mengalami dalam suasana haru tersebut, tetapi dari situ saya mulai berfikir, apakah kesedihan ini tidak/lebih mendalam dari kesedihan orang orang yang sejak lahir sudah tidak mengenal konsep keluarga? Yang sejak lahir sudah dalam konsidi tidak ‘normal’?
Saya menyimpulkan tetapi ini hanya pandangan saya yang tidak merasakan apapun itu. Oke kita mulai, orang yang sudah tidak mempunyai ‘sesuatu’ pastinya tidak akan lebih sedih dari pada orang yang ‘kehilangan’ sesuatu. Iya menurut saya secara kasar seperti itu, tetapi orang yang sudah tidak mempunya ‘sesuatu’ itu jauh lebih dalam suasana sedih ketika berada pada lingkungan kepunyaan. Saya analogikan hal itu seperti ini’ orang yang tidak brada pada konsep keluarga yang utuh itu akan lebih dalam kondisi kesedihan ketika berada pada perkumpulan teman temanya yang mempunyai kelouarga. 
Ini belum akhir dari pemikiran saya tetapi entah kenapa saya ingin berhenti membahasa ini karena saya tidak termasuk dalam dua kondisi tersebut saya takut hanya menjadi judgement saya kepada orang orang yang merasakan kerasnya survive dalam dunia itu.
Tetapi yang pasti menurut saya, entah itu orang dalam kondisi pertama maupun kondisi kedua sama sama orang – orang yang kuat dalam menghadapi dan menyikapi itu, saya sendiri entah apa bisa sekuat dan setenang mereka, khususnya teman teman saya yang berada kondisi itu.