Rabu, 2 Agustus
2017
Yang aku
takutkan adalah ketika apa yang selalu dibenci akan menjadi yang selalu
dikenang. Saat semua penyesalan menjadi ada karena jarak, dan waktu.
Ini bukan kisah
dramatis yang menyedihkan. Tapi lebih ke pengakuan bahwa kita hidup tidak untuk
diri sendiri dan juga alasan kita hidup bukan karena tindakan kita sendiri.
Seseorang biasanya mengakui saat semua yang dilalui sudah tidak tersentuhnya.
Saat dimensi kita berbeda dengan apa yang kita akui. Misalkan kita mengaku kita
ingin sehat kala kita sakit, ataupun ingin kaya disaat miskin. Tapi itu justru
suatu kenikmatan saat kita merasakan penyesalan dengan kesalahan sendiri
sebagai biang kerok.
Di awal tahun menjelang
tengah, saat dengar lagu fourtwnty-Zona nyaman, ini terasa sangat dalam masuk
ke dalam pikiranku. Tapi pikirku, ah bisa apa, sudahlah apa yang ada saja dulu.
Sesuatu bisa masuk dalam pikiran dan hati dengan mudah ketika kita dalam satu
lingkup dimensi yang sama. Misal, saat kondisi galau, lagu lagu menye dapat
dengan mudah masuk dan merasuki sehingga kita membenarkan bahwa apa yang
dinyanyikan sesuai dengan perasaan.
Dalam pemikiran
sesuai wikipedia, dalam luas bumi yang 510.072.000 km2 dengan 193 negara yang diakui pbb, yang
dipimpin oleh group of eight yang
mahsyur, dengan saya hanya tinggal di kota kecil dengan kebanggaan akan
sejarahnya, dalam sebuah negara berkembang yang menghebatkan kekayaan alamnya
dan lupa akan kewajibanya, terlalu mudah terprovokasi dan terlalu gengsi dengan
produk dalam negeri.
Zona nyaman
adalah ketika semua terasa mudah ketika semua yang ‘akan’ dijalani sama seperti
apa yang ‘sudah’ dijalani. Lalu, apa bedanya?
Saya suka
bingung dengan bagaimana sebenarnya pendidikan yang diberikan orangtua kepada
anak di Sumatera, karna dari beberapa biografi yang saya baca, orang – orang
sumatra yang tinggal di dalam pelosok hutan di bukan pulau sentral istilahnya,
dapa tmnejadi orang orang besar yang hebat. Dan ternyata kuncinya adalah
kebanyakan dari mereka sudah meninggalkan ke-zona nyamanya dari belasan tahun.
Sabtu, 12
Agustus 2017
21. 42
Dalam suasana
syahdu dengan lampu yang tak lagi mampu melanjutkan tugasnya. Sate Klathak Pak
Bari, Pasar Jejeran, kulanjutkan tulisanku.
Hari – hari
terakhir menjelang hari yang kunantikan, dimana semua dunia nyaman dan amanku
kan ku tinggalkan. Hari ini juga bertepatan dengan selesainya rangkaian ppsmb
ugm. Seperti biasa, teman – teman yang masuk ugm membuat koreografinya.
Perpisahan memang
selalu menyedihkan. Tapi bisa juga menyenangkan, bagi orang – orang yang
membuatnya menjadi tujuan. Aku selalu benci dengan perpisahan karena di
dalamnya terpaksa kutinggalkan apa yang telah ada, dan terpaksa siap untuk
menerima apa yang baru, di tempat yang baru pula.
Kemarin, saat
silaturahmi di rumah guru sd-ku, beliau bilang “saya mencintai anak – anak
saya, tapi tidak cinta mati, tidak cinta seutuhnya, karena kalau saya cinta
mati, pasti saya tidak akan bisa membuka hati bagi generasi baru saat yang saya
cintai itu lulus, dan saya tidak akan bisa mengajar dengan maksimal” ya mungkin
itu ada benarnya, karena kita memang tak akan bisa maksimal melakukan pekerjaan
baru dengan bayang – bayang kenangan lama, istilah keren-nya, move on.
Tapi saya juga tidak
begitu setuju dengan move on, karena dengan itu kita akan melupakan semua hal
walaupun itu baik ataupun buruk. Bukan itu yang ingin saya lakukan. Tapi
membuat dasar yang baik dari masa lalu, untuk masa depan yang lebih gemilang.
Memang terdengar bullshit, tapi akan kucoba.
Selamat tinggal
jogja, kota yang melahirkanku dan membentuk diriku, menjadi manusia yang.. ya
begini. Orang bilang jogja itu ngangenin, tapi jujur saya belum pernah
merasakan seperti itu karena memang saya belum pernah meninggalkan jogja untuk
waktu yang lama. Dan mungkin ini saatnya, menjadikan jogja hanya ada ketika
liburan dan lebaran.
Malam terakhir di Jogja
Yogyakarta, 13 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar