Minggu, 13 Agustus 2017

RUMAH UNTUK KEMBALI PULANG






Rabu, 2 Agustus 2017
Yang aku takutkan adalah ketika apa yang selalu dibenci akan menjadi yang selalu dikenang. Saat semua penyesalan menjadi ada karena jarak, dan waktu.

Ini bukan kisah dramatis yang menyedihkan. Tapi lebih ke pengakuan bahwa kita hidup tidak untuk diri sendiri dan juga alasan kita hidup bukan karena tindakan kita sendiri. Seseorang biasanya mengakui saat semua yang dilalui sudah tidak tersentuhnya. Saat dimensi kita berbeda dengan apa yang kita akui. Misalkan kita mengaku kita ingin sehat kala kita sakit, ataupun ingin kaya disaat miskin. Tapi itu justru suatu kenikmatan saat kita merasakan penyesalan dengan kesalahan sendiri sebagai biang kerok. 

Di awal tahun menjelang tengah, saat dengar lagu fourtwnty-Zona nyaman, ini terasa sangat dalam masuk ke dalam pikiranku. Tapi pikirku, ah bisa apa, sudahlah apa yang ada saja dulu. Sesuatu bisa masuk dalam pikiran dan hati dengan mudah ketika kita dalam satu lingkup dimensi yang sama. Misal, saat kondisi galau, lagu lagu menye dapat dengan mudah masuk dan merasuki sehingga kita membenarkan bahwa apa yang dinyanyikan sesuai dengan perasaan. 

Dalam pemikiran sesuai wikipedia, dalam luas bumi yang 510.072.000 km2  dengan 193 negara yang diakui pbb, yang dipimpin oleh group of eight yang mahsyur, dengan saya hanya tinggal di kota kecil dengan kebanggaan akan sejarahnya, dalam sebuah negara berkembang yang menghebatkan kekayaan alamnya dan lupa akan kewajibanya, terlalu mudah terprovokasi dan terlalu gengsi dengan produk dalam negeri. 

Zona nyaman adalah ketika semua terasa mudah ketika semua yang ‘akan’ dijalani sama seperti apa yang ‘sudah’ dijalani. Lalu, apa bedanya?

Saya suka bingung dengan bagaimana sebenarnya pendidikan yang diberikan orangtua kepada anak di Sumatera, karna dari beberapa biografi yang saya baca, orang – orang sumatra yang tinggal di dalam pelosok hutan di bukan pulau sentral istilahnya, dapa tmnejadi orang orang besar yang hebat. Dan ternyata kuncinya adalah kebanyakan dari mereka sudah meninggalkan ke-zona nyamanya dari belasan tahun. 

Sabtu, 12 Agustus 2017
21. 42
Dalam suasana syahdu dengan lampu yang tak lagi mampu melanjutkan tugasnya. Sate Klathak Pak Bari, Pasar Jejeran, kulanjutkan tulisanku.

Hari – hari terakhir menjelang hari yang kunantikan, dimana semua dunia nyaman dan amanku kan ku tinggalkan. Hari ini juga bertepatan dengan selesainya rangkaian ppsmb ugm. Seperti biasa, teman – teman yang masuk ugm membuat koreografinya. 

Perpisahan memang selalu menyedihkan. Tapi bisa juga menyenangkan, bagi orang – orang yang membuatnya menjadi tujuan. Aku selalu benci dengan perpisahan karena di dalamnya terpaksa kutinggalkan apa yang telah ada, dan terpaksa siap untuk menerima apa yang baru, di tempat yang baru pula. 

Kemarin, saat silaturahmi di rumah guru sd-ku, beliau bilang “saya mencintai anak – anak saya, tapi tidak cinta mati, tidak cinta seutuhnya, karena kalau saya cinta mati, pasti saya tidak akan bisa membuka hati bagi generasi baru saat yang saya cintai itu lulus, dan saya tidak akan bisa mengajar dengan maksimal” ya mungkin itu ada benarnya, karena kita memang tak akan bisa maksimal melakukan pekerjaan baru dengan bayang – bayang kenangan lama, istilah keren-nya, move on. 

Tapi saya juga tidak begitu setuju dengan move on, karena dengan itu kita akan melupakan semua hal walaupun itu baik ataupun buruk. Bukan itu yang ingin saya lakukan. Tapi membuat dasar yang baik dari masa lalu, untuk masa depan yang lebih gemilang. Memang terdengar bullshit, tapi akan kucoba.
Selamat tinggal jogja, kota yang melahirkanku dan membentuk diriku, menjadi manusia yang.. ya begini. Orang bilang jogja itu ngangenin, tapi jujur saya belum pernah merasakan seperti itu karena memang saya belum pernah meninggalkan jogja untuk waktu yang lama. Dan mungkin ini saatnya, menjadikan jogja hanya ada ketika liburan dan lebaran. 

Malam terakhir di Jogja
Yogyakarta, 13 Agustus 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar