Minggu, 15 September 2019

NRIMO

September 15, 2019


 
Semakin dewasa semakin menemui realita yang dari dulu tersebut – sebut. “kita tidak bisa memahami orang lain”
Semakin kesini semakin bertemu dengan banyak orang yang berbeda tingkah laku, berbeda sifat dan sikap. Berbeda sudut pandang dan pola pikir.
Harus selalu menyadari bahwa kapasitas kita sebagai bagian dari suatu masyarakat sama halnya atau sama derajatnya dengan manusia lain, bukan tendensi yang harus kita besarkan,tapi hati yang harus selalu menerima apa yang ada.

MATINYA PERASAAN

September 15, 2019



Lalu menurutmu lebih menyakitkan mana, kehilangan nyawa atau tidak hidup di dalamnya. Dalam artian ini saya mencoba membandingkan dalam dua hal entah itu akan menjadi perbandingan yang seimbang atau tidak, kita lihat nanti dan anda nilai kemudian.
Menurutku tiada yang lebih kuat daripada orang ang kehilangan nyawa salah seorang terpenting dalam hidupnya. Tetapi, bagaimana dengan orang yang sejak awal memang tidak berada pada kehidupan dengan konsep itu? Saya ambil contoh begini, lebih menyakitkan mana orang yang kehilangan orang tuanya dalam artian meninggal, atau orang yang sudah sejak lahir sudah tidak hidup dalam konsep keluarga yang terdiri dari susunan ayah,ibu dan anak. Mungkin hanya ibu dan anak atau ayah dengan anaknya.
Bulan juli ini mendengar kbr duka dari 2 orang yang dekat denganku, pak singgih, guru olahraga smaku yang juga kesiswaan yang artianya dekat dengan anak anak sekolah, Pakdhe Nurto yang adalah kakak dari ibuk
Dalam 2 peristiwa itu saya melihat kesedihan yang begitu mendalam bagi orang orang yang setip hari berdekatan hidupnya dengan almarhum. Saya yang termasuk orang perasa jadi iku mengalami dalam suasana haru tersebut, tetapi dari situ saya mulai berfikir, apakah kesedihan ini tidak/lebih mendalam dari kesedihan orang orang yang sejak lahir sudah tidak mengenal konsep keluarga? Yang sejak lahir sudah dalam konsidi tidak ‘normal’?
Saya menyimpulkan tetapi ini hanya pandangan saya yang tidak merasakan apapun itu. Oke kita mulai, orang yang sudah tidak mempunyai ‘sesuatu’ pastinya tidak akan lebih sedih dari pada orang yang ‘kehilangan’ sesuatu. Iya menurut saya secara kasar seperti itu, tetapi orang yang sudah tidak mempunya ‘sesuatu’ itu jauh lebih dalam suasana sedih ketika berada pada lingkungan kepunyaan. Saya analogikan hal itu seperti ini’ orang yang tidak brada pada konsep keluarga yang utuh itu akan lebih dalam kondisi kesedihan ketika berada pada perkumpulan teman temanya yang mempunyai kelouarga. 
Ini belum akhir dari pemikiran saya tetapi entah kenapa saya ingin berhenti membahasa ini karena saya tidak termasuk dalam dua kondisi tersebut saya takut hanya menjadi judgement saya kepada orang orang yang merasakan kerasnya survive dalam dunia itu.
Tetapi yang pasti menurut saya, entah itu orang dalam kondisi pertama maupun kondisi kedua sama sama orang – orang yang kuat dalam menghadapi dan menyikapi itu, saya sendiri entah apa bisa sekuat dan setenang mereka, khususnya teman teman saya yang berada kondisi itu.  

KALAH DALAM PUASA

September 15, 2019




Bagiku puasa bukan hanya sekedar menahan lapar dan haus. Terlebih dalam nafsu, ia menahan apa yang terjadi pada akibat yang ditimbulkan nafsu itu sendiri. Sayangnya, orang – orang berduyun duyun terikat dengan puasa hanya pada 30 hari pada bulan suci itu. Padahal sejatinya puasa ada dalam setiap sendi kehidupan bersifat general dan selamanya.
Dimulai dari imsak sampai maghrib, tetapi menurutku puasa berawal dari lahir, sampai mati di dunia. Ia adalah penyatuan jiwa dengan alamnya. Dalam artian menahan, ia sebenarnya bisa saja dilakukan, tetapi kata menahan mempunyai artian yang lebih dalam. Merendahkan ego dan mendahulukan yang lain, iya. Menurutku puasa ada dalam setiap hal yang dialami manusia. Kalau orang – orang sudah dapat memahami apa arti puasa sebenarnya, maka mungkin di dunia ini tidak akan ada koruptor, perampok, ataupun orang suci yang memberi gelar sendiri.
‘Menahan dan mengendalikan’ mungkin bukanlah suatu kalimat yang memiliki makna yang dalam, tetapi butuh effort lebih untuk melaksanakan. Hidup ini bukanlah sekedar melahap dan menghabiskan, dalam penglihatan secara jiwa, menurutku hidup harus dalam taraf seimbang. Menahan dan mengendalikan apa yang bisa dilakukan menurutku adalah hal yang lebih utama. Ini bukan persoalan kalah dan menang, karena jika hidup hanya terbatas oleh 2 hal itu maka hanya ada hitam dan putih, bukan hanya benar dan salah karena mengalah dan dikalahkan adalah jalan terbaik untuk kemenangan, menempatkan harga diri di atas parameter capaian menjadikan ia tak mudah disentuh, apalagi dikalahkan oleh seorang pun. Dan bukanlah kemenangan yang ingin kita dapatkan, melainkan kehidupan yng mulia untuk sesama dan tuhanya, untuk kembali kepadaNya dalam bentuk yang sebaik baiknya
Puasa bukan sekedar kemenangan pada apa yang bisa dilakukan, padanya kita bersembah bahwa pengendalian terbaik adalah dapat menahan pada apa yang dunia tawarkan padamu, pada setiap nafsu yang ia gambarkan di depan matamu, pada setiap harumnya yang ia jejalkan di penghujung hidungmu. Maka jika puasa hanya sekedar kemenangan, maka tak salah jika egoisme menjadi senjata utama pada penutupan warung makan dan lain sebagainya.
Puasa adalah bentuk keromantisan antara hamba dengan tuhannya, ia hanya diketahui oleh pencipta dan tercipta karena kebenaran dunia adalah hal yang relatif dan kebenaran akhirat adalah mutlak. Dalam hal ibadah, tak ada yang bisa menilai tingkat puasa seseorang, Antara murid dunia dengan murid lainnya, ia hanya bisa dinilai oleh ‘guru’nya, dalam hal ini adalah ia, sang maha pemberi nilai pada rapor pertanggungjawaban manusia atas apa yang dikerjakanya di sekolah bernama dunia, semasa hidupnya. Semoga semua makhluk berbahagia.

PARAMETER BAIK

September 15, 2019
Tidak ada parameter menjadi manusia baik, ataupun manusia yang bisa diterima semua orang. Menjadi manusia adalah persoalan berhubungan dengan manusia lain.
Jika nabi adalah parameter sebagai orang baik, maka orang yang menjadi jadikan dirinya nabi adalah keterbalikan dari semua sifat itu, karena sesungguhnya, menjadinya adalah keniscayaan.
Nabi Muhammad adalah bentuk manusia dengan kekurang tetapi dengan kekuranganya itu ia dapat menjadikanya sempurna, kata cak pun. Aku pun setuju.
Mudah menjadi manusia yang hidup di dunia ini, tetapi sulit menajdi manusia yang menghidupi bagi manusia manusia lain. Dari sini muncul sifat yang beranak dari kata menghidupi, entah itu belas kasih, baik hati, menghargai atau apapun jenis kata thoyibah lainya untuk mendeskripsikan stereotype orang yang baik.
Menjadi manusia adalah pelajaran bagi manusia di dunia, ia boleh saja menjadi goal, ataupun hanya alasan untuk sekedar hidup, seperti kata hamka, Kalau hidup sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.
Itu pilihan bagaimana kamu akan memaknai hidup sebagai manusia 60 tahun ini, hanya hidup dengan dasar ‘sekedar’ ataukah dengan idealism dan prinsip yang kau junjung sampai mati. Menjadi manusia bebal yang juga apatis ataukah ia yang menerima semua apa yang terjadi pada hidupnya.